Asalamualaikum.Sedulur Syech Mansyur mohon petunjuk tentang Silsilah ini? Hatur Nuhun
Sumberlain mengatakan , Syekh Mansyur Cikadueun adalah ulama besar yang berasal dari Jawa Timur yang hidup semasa dengan Syehk Nawawi al Bantani. Kedua tokoh tersebut terlibat langsung dalam perang Diponogoro ditangkap oleh Belanda, Syekh Mansyur dilkejar oleh Belanda dan akhirnya menetap di kampung Cikadueun, Syekh Nawawi kemballi ke Mekkah.
Tempatkreatifitas dan berkarya dalam membangun kampung halaman Cikadueun Kampung Halaman-ku, Cikadueun, Kampung, Halaman-ku, Syekh Manshur Cikadueun, Syekh
Setelahsekian lama menyiarkan islam ke berbagai daerah di banten dan sekitarnya, lalu Syekh Maulana Manyuruddin dan khadamnya Ki Jemah pulang ke Cikaduen. Akhirnya Syekh Maulana Mansyuruddin meninggal dunia pada tahun 1672M dan di makamkan di Cikaduen Pandeglang Banten. Hingga kini makam beliau sering diziarahi oleh masyarakat dan dikeramatkan.
BilaAnda mencari silsilah abuya dimyati cidahu pandeglang banten anda datang ketempat yang tepat. kami mempunyai 29 gambar tentang silsilah abuya dimyati cidahu pandeglang banten termasuk gambar, photo, wallpaper, dan lainnya. Di halaman ini, kami juga memiliki berbagai macam gambar. Bila Anda mencari silsilah syekh mansyur cikadueun
Qwa2S. Bila Anda mencari silsilah syekh mansyur cikadueun pandeglang anda datang ketempat yang tepat. kami mempunyai 32 gambar tentang silsilah syekh mansyur cikadueun pandeglang termasuk gambar, photo, wallpaper, dan lainnya. Di halaman ini, kami juga memiliki berbagai macam gambar. Seperti png, jpg, animasi gif, seni gambar, logo, hitam dan putih, transparan, dll. Jangan lupa untuk bookmark silsilah syekh mansyur cikadueun pandeglang menggunkan Ctrl + D PC or Command + D macos. Jika Anda menggunakan ponsel, Anda juga dapat menggunakan laci menu dari browser. Baik itu Windows, Mac, iOs atau Android, Anda akan dapat mengunduh gambar menggunakan tombol unduh.
Sapun awaking reuk make pasang panjang pasadun pok sablapunMeunag Ahung tujuh kaliAhung deuiAhung deuiAhung malunggaAhung malinggaAhung mangdegdegAhung mangandegAhung manglindu asihKa Ambu aing Sira mangambungKa Bapa aing Sira mangumbangPangjungjungkeun panglawungkeunKu Ambu aing sira manglaungKu Bapa aing sira mangumpangPangnyambungkeun aing saur pangngapakeun aing sabaKa luhur ka mega beureumKa mega hideungKa mega si karambanganKa mega si kareumbinganKa mega si karentenKa mega si kalambatanKa mega si kaleumbitanKa mega si antrawelaKa kocapnaKa ucapnaKa Puncakning ibunKa guru putra hiyang bayuKa nu weang nyukcruk ibunAhung.......Weweg sampeg, Mandala pageuhMangka tetep mangka langgengMangka langgeng tunggal tineungDatang hiji datang duaDatang tilu nungku nungkuDatang opat ngawun ngawunDatang lima lingga emasDatang genep nguren ngurenDatang tujuh lilimbunganPuluhan tanpa wilanganCalik calik nu geulisNyai Sri calik di dieuUnggah ka pasaran legaGeusan sia gagayahanGeusan sia gagayahanDi gedong manik mandala pageuhLemut teuing ku buruananaLesang teuing ku bojanaNu geulis ranggeuy mirikiniknikBar ngampar ku samak metrukGasan bujang kasangna bagusGasan Nyai tes netepanNgajepret palisir bodas
Syekh Maulana Mansyuruddin, Cikadueun, Pandeglang, Banten. Bila anak bangsa sudah mulai melupakan sejarahnya, maka hilanglah kebesaran generasi bangsanya. Manusia ialah makhluk pelupa. Kemarin seharusnya menjadi sejarah hari ini. Hari ini menjadi sejarah esok hari. Dan esok menjadi sejarah untuk lusa yang lebih baik. Begitu seterusnya tiada berkesudahan. Tapi ternyata tidak berlaku untuk manusia-manusia pelupa. Fakta-fakta sejarah yang mengatakan betapa signifikannya peran-peran Ulama dan Santri. Para Ulama dan Santri sudah memperhatikan sejarah mereka di esok hari. Tinggal kita sekarang, apakah akan melanjutkannya atau tetap nyaman menjadi manusia-manusia amnesia. Peristiwa sejarah yang terjadi di tengah bangsa Indonesia hingga hari ini, hakikatnya merupakan kesinambungan masa kemudian yang mana fondasinya sudah dipancangkan berpengaruh oleh para Ulama dan Santri. Dan tidak akan cukup jikalau kita menuliskannya dalam lembaran artikel sederhana ini. Setidaknya, citra sederhana di atas sanggup memantik kesadaran kolektif kita wacana sejarah. Cerita rakyat yang bekerjasama dengan Islamisasi di Banten salah satunya ialah dongeng Syekh Mansyuruddin. Menurut ceritanya Sang syekh ialah salah seorang yang membuatkan agama Islam di derah Banten Selatan. Dengan peninggalannya berupa Batu Qurâan yang kini banyak berdatangan wisatawan untuk berzirah atau untuk mandi di sekitar patilasan, alasannya disana ada bak pemandian yang ditengah bak tersebut terdapat kerikil yang bertuliskan Al-Qurâan. Syekh Maulana Mansyuruddin dikenal dengan nama Sultan Haji, dia ialah putra Sultan Agung Abdul Fatah Tirtayasa raja Banten ke 6. Sekitar tahun 1651 M, Sultan Agung Abdul Fatah berhenti dari kesutanan Banten, dan pemerintahan diserahkan kepada putranya yaitu Sultan Maulana Mansyurudin dan dia diangkat menjadi Sultan ke 7 Banten, kira-kira selama 2 tahun menjabat menjadi Sultan Banten kemudian berangkat ke Bagdad Iraq untuk mendirikan Negara Banten di tanah Iraq, sehingga kesultanan untuk sementara diserahkan kepada putranya Pangeran Adipati Ishaq atau Sultan Abdul Fadhli. Pada ketika berangkat ke Bagdad Iraq, Sultan Maulana Mansyuruddin diberi wasiat oleh Ayahnya, âApabila engkau mau berangkat mendirikan Negara di Bagdad janganlah menggunakan/ menggunakan seragam kerajaan nanti engkau akan mendapat malu, dan jikalau mau berangkat ke Bagdad untuk tidak mampir ke mana-mana harus pribadi ke Bagdad, terkecuali engkau mampir ke Mekkah dan sehabis itu pribadi kembali ke Banten. Setibanya di Bagdad, ternyata Sultan Maulana Mansyuruddin tidak sanggup untuk mendirikan Negara Banten di Bagdad sehingga dia mendapat malu. Didalam perjalanan pulang kembali ke tanah Banten, Sultan Maulana Mansyuruddin lupa pada wasiat Ayahnya, sehingga dia mampir di pulau Menjeli di daerah wilayah China, dan menetap kurang lebih 2 tahun di sana, kemudian dia menikah dengan Ratu Jin dan mempunyai putra satu. Selama Sultan Maulana Mansyuruddin berada di pulau Menjeli China, Sultan Adipati Ishaq di Banten terbujuk oleh Belanda sehingga diangkat menjadi Sultan resmi Banten, tetapi Sultan Agung Abdul Fatah tidak menyetujuinya dikarenakan Sultan Maulana Mansyuruddin masih hidup dan harus menunggu kepulangannya dari Negeri Bagdad, alasannya adanya perbedaan pendapat tersebut sehingga terjadi kekacauan di Kesultanan Banten. Pada suatu ketika ada seseorang yang gres turun dari kapal mengaku-ngaku sebagai Sultan Maulana Mansyurudin dengan membawa buah tangan dari Mekkah. Akhirnya orang-orang di Kesultanan Banten pun percaya bahwa Sultan Maulana Mansyurudin telah pulang termasuk Sultan Adipati Ishaq. Orang yang mengaku sebagai Sultan Maulana Mansyuruddin ternyata ialah raja pendeta keturunan dari Raja Jin yang menguasai Pulau Menjeli China. Selama menjabat sebagai Sultan palsu dan membawa kekacauan di Banten, jadinya rakyat Banten membenci Sultan dan keluarganya termasuk ayahanda Sultan yaitu Sultan Agung Abdul Fatah. Untuk menghentikan kekacauan di seluruh rakyat Banten Sultan Agung Abdul Fatah dibantu oleh seorang tokoh atau Auliya Alloh yang berjulukan Pangeran Bu`ang Tubagus Bu`ang, dia ialah keturunan dari Sultan Maulana Yusuf Sultan Banten ke 2 dari Keraton Pekalangan Gede Banten. Sehingga kekacauan sanggup diredakan dan rakyat pun membantu Sultan Agung Abdul Fatah dan Pangeran Bu`ang sehingga terjadi pertempuran antara Sultan Maulana Mansyuruddin palsu dengan Sultan Abdul Fatah dan Pangeran Bu`ang yang dibantu oleh rakyat Banten, tetapi dalam pertempuran itu Sultan Agung Abdul Fatah dan Pangeran Bu`ang kalah sehingga dibuang ke daerah Tirtayasa, dari kejadian itu maka rakyat Banten memberi gelar kepada Sultan Agung Abdul Fatah dengan sebutan Sultan Agung Tirtayasa. Peristiwa adanya pertempuran dan dibuangnya Sultan Agung Abdul Fatah ke Tirtayasa jadinya hingga ke indera pendengaran Sultan Maulana Mansyuruddin di pulau Menjeli China, sehingga dia teringat akan wasiat ayahandanya kemudian dia pun memutuskan untuk pulang, sebelum pulang ke tanah Banten dia pergi ke Mekkah untuk memohon ampunan kepada Alloh SWT di Baitulloh dikarenakan telah melanggar wasiat ayahnya, setelah sekian usang memohon ampunan, jadinya semua perasaan bersalah dan semua permohonannya dikabulkan oleh Alloh SWT hingga dia mendapat gelar kewalian dan mempunyai gelar Syekh di Baitulloh. Setelah itu dia berdoa meminta petunjuk kepada Alloh untuk sanggup pulang ke Banten jadinya dia mendapat petunjuk dan dengan izin Alloh SWT dia menyelam di sumur zam-zam kemudian muncul suatu mata air yang terdapat kerikil besar ditengahnya kemudian oleh dia kerikil tersebut ditulis dengan menggunakan telunjuknya yang tepatnya di daerah Cibulakan Cimanuk Pandeglang Banten di sehingga oleh masyarakat sekitar dikeramatkan dan dikenal dengan nama Keramat Batu Qur`an. Setibanya di Kasultanan Banten dan membereskan semua kekacauan di sana, dan memohon ampunan kepada ayahanda Sultan Agung Abdul Fatah Tirtayasa. Sehingga jadinya Sultan Maulana Mansyuruddin kembali memimpin Kesultanan Banten, selain menjadi seorang Sultan dia pun mensyiarkan islam di daerah Banten dan sekitarnya. Dalam perjalanan menyiarkan Islam dia hingga ke daerah Cikoromoy kemudian menikah dengan Nyai Sarinten Nyi Mas Ratu Sarinten dalam pernikahannya tersebut dia mempunyai putra yang berjulukan Muhammad Sholih yang mempunyai julukan Kyai Abu Sholih. Setelah sekian usang tinggal di daerah Cikoromoy terjadi suatu insiden dimana Nyi Mas Ratu Sarinten meninggal terbentur kerikil kali pada ketika mandi, dia terpeleset menginjak rambutnya sendiri, konon Nyi Mas Ratu Sarinten mempunyai rambut yang panjangnya melebihi tinggi tubuhnya, jawaban insiden tersebut maka Syekh Maulana Mansyuru melarang semua keturunannya yaitu para perempuan untuk mempunyai rambut yang panjangnya ibarat Nyi mas Ratu Sarinten. Nyi Mas Ratu Sarinten kemudian dimakamkan di Pasarean Cikarayu Cimanuk. Sepeninggal Nyi Mas Ratu Sarinten kemudian Syekh Maulana Mansyur pindah ke daerah Cikaduen Pandeglang dengan membawa Khodam Ki Jemah kemudian dia menikah kembali dengan Nyai Mas Ratu Jamilah yang berasal dari Caringin Labuan. Pada suatu hari Syekh Maulana Mansyur membuatkan syariah agama islam di daerah selatan ke pesisir laut, di dalam perjalanannya di tengah hutan Pakuwon Mantiung Sultan Maulana Mansyuruddin beristirahat di bawah pohon waru sambil bersandar bersama khodamnya Ki Jemah, tiba-tiba pohon tersebut menjongkok ibarat seorang insan yang menghormati, maka hingga ketika ini pohon waru itu tidak ada yang lurus. Ketika Syekh sedang beristirahat di bawah pohon waru dia mendengar bunyi harimau yang berada di pinggir laut. Ketika Syekh menghampiri ternyata kaki harimau tersebut terjepit kima, setelah itu harimau melihat Syekh Maulana Mansyur yang berada di depannya, melihat ada insan di depannya harimau tersebut pasrah bahwa ajalnya telah dekat, dalam perasaan frustasi harimau itu mengaum kepada Syekh Maulana Mansyur maka atas izin Alloh SWT tiba-tiba Syekh Maulana Mansyur sanggup mengerti bahasa binatang, Karena dia ialah seorang insan pilihan Alloh dan seorang Auliya dan Waliyulloh. Maka atas izin Alloh pulalah, dan melalui karomahnya dia kima yang menjepit kaki harimau sanggup dilepaskan, setelah itu harimau tersebut di bai`at oleh beliau, kemudian dia pun berbicara âSaya sudah menolong kau ! saya minta kau dan anak buah kau berjanji untuk tidak mengganggu anak, cucu, dan semua keturunan sayaâ. Kemudian harimau itu menyanggupi dan jadinya diberikan kalung surat Yasin di lehernya dan diberi nama Si Pincang atau Raden Langlang Buana atau Ki Buyud Kalam. Ternyata harimau itu ialah seorang Raja/Ratu siluman harimau dari semua Pakuwon yang 6. Pakuwon yang lainnya ialah 1. Ujung Kulon yang dipimpin oleh Ki Maha Dewa 2. Gunung Inten yang dipimpin oleh Ki Bima Laksana 3. Pakuwon Lumajang yang dipimpin oleh Raden Singa Baruang 4. Gunung Pangajaran yang dipimpin oleh Ki Bolegbag Jaya 5. Manjau yang dipimpin oleh Raden Putri 6. Mantiung yang dipimpin oleh Raden langlang Buana atau Ki Buyud Kalam atau si pincang. Setelah sekian usang menyiarkan islam ke aneka macam daerah di banten dan sekitarnya, kemudian Syekh Maulana Manyuruddin dan khadamnya Ki Jemah pulang ke Cikaduen. Akhirnya Syekh Maulana Mansyuruddin meninggal dunia pada tahun 1672M dan di makamkan di Cikaduen Pandeglang Banten. Hingga kini makam dia sering diziarahi oleh masyarakat dan dikeramatkan. Keterangan Sultan Agung Abdul Fatah Tirtayasa dimakamkan di kampung Astana Desa Pakadekan Kecamatan Tirtayasa Kawadanaan Pontang Serang Banten. Cibulakan terdapat di muara sungai Kupahandap Kecamatan Cimanuk Kabupaten Pandeglang Banten Makam Cicaringin terletak di daerah Cikareo Cimanuk Pandeglang Banten Ujung Kulon Desa Cigorondong kecamatan Sumur Kawadanaan Cibaliung kebupaten Pandeglang Banten Gunung Anten terletak di kecamatan Cimarga Kawadanaan Leuwi Damar Rangkas Bitung Pakuan Lumajang terletak di Lampung Gunung Pangajaran terletak di Desa Carita Kawadanaan Labuan Pandeglang, disini tempat latihan silat macan. Majau terletak didesa Majau kecamatan Saketi Kawadanaan Menes Pandeglang Banten Mantiung terletak di desa sumur kerikil kecamatan Cikeusik Kewadanaan Cibaliung Pandeglang. Ki Jemah dimakamkan di kampong Koncang desa Kadu Gadung kecamatan Cimanuk Pandegang Banten
Salah satu cerita rakyat yang berkaitan erat dengan Islamisasi di wilayah Banten adalah adanya kisah Sheikh Mansyuruddin Cikadueun. Menurut catatan sejarah, Syekh Manshur bernama asli Abdul Qohar, beliau merupakan salah satu waliullah yang menyebarkan Islam di wilayah Banten Selatan. Dengan warisannya berupa "Batu Qur'an", wisatawan sekarang bisa datang untuk mengambil barokah atau mandi di kolam yang berdekatan dengan patilasan Syekh Manshur tersebut, karena disana ada kolam air yang di tengah-tengah kolamnya terdapat batu yang dikatakan sebagai batu Al-Qur'an. Sheikh Maulana Mansyuruddin kesohor dengan julukan Sultan Haji, ia adalah anak dari Sultan Agung Abdul Fatah Tirtayasa raja ke-6 dari Banten. Sekitar tahun 1651 M, Sultan Agung Abdul Fatah mewariskan kesutanan Banten dan pemerintahannya diberikan kepada anaknya, Sultan Maulana Mansyurudin, beliau sultan Manshurudin diangkat sebagai Sultan ke 7 dalam kesultanan Banten. Sekitar 2 tahun melayani kesultanan Banten, beliau berkeinginan untuk berangkat ke Baghdad Irak, dengan tujuan mendirikan kerajaan Banten di negeri Irak, sehingga kesultanan Banten untuk sementara diserahkan kepada putranya Pangeran Adipati Ishaq atau Sultan Abdul Fadhli. Ketika beliau akan pergi ke Baghdad Irak, Sultan Maulana Mansyuruddin diberi nasehat oleh ayahnya "Jika engkau ingin meninggalkan Banten karena ingin mendirikan negara Banten di Baghdad, engkau tidak boleh menggunakan atribut kerajaan apapun karena engkau akan mendapatkan malu, dan jika engkau ingin berangkat ke Baghdad, maka janganlah berhenti di manapun, engkau harus langsung ke Baghdad kecuali engkau berhenti dulu di Mekah atau kembali lagi ke Banten dengan segeraâ. Begitulah nasehat Abdul Fatah kepada Anaknya, Sultan Manshur. Sesampainya di Baghdad, ditemukan bahwa Sultan Maulana Manshuruddin tidak dapat mendirikan kerajaan Banten di Baghdad. Sehingga dia bertolak untuk langsung pulang ke Banten saja. Di dalam perjalanan pulang, Sultan Mansyuruddin malah lupa akan nasehat ayahnya, beliau malah berhenti di pulau Menjeli di wilayah Cina, dan menetap kurang dari dua tahun di sana, ia menikah dengan ratu Jin dan memiliki seorang putra. Selama Sultan Maulana Mansyuruddin berada di pulau Menjeli Cina, Sultan Adipati Ishaq, anaknya di Banten, dibujuk oleh Belanda agar meresmikan diri menjadi Sultan Banten, tetapi Sultan Agung Abdul Fatah tidak menyetujui akan hal ini, karena Sultan Maulana Manshurudin masih hidup dan harus menunggunya kembali pulang ke tanah Baghdad. Pihak Belanda tentu saja tidak suka akan keputusan Abdul Fatah, sehingga mereka membuat kekacauan didalam Kesultanan Banten. Kekacauan ini juga kabarnya dimulai dengan kedatangan seorang laki-laki yang turun dari perahu di pesisir pantai daerah Banten, laki-laki tersebut mengaku sebagai Syekh Manshurudin, masyarakat percaya akan hal itu, pihak keluarga kerajaan pun mempercayainya, sehingga si laki-laki ini kemudian mengatur kerajaan banten, yang ternyata di kemudian hari, laki-laki ini bukanlah Syekh manshur tetapi seorang laki-laki yang masih keturunan dari Raja Jin pulau Menjeli, Cina. Sementara semua orang melayani Sultan palsu itu dan terjadilah kekacauan di tanah Banten. Masyarakat di seluruh Banten menjadi benci kepada sang Sultan, termasuk ayahnya sendiri yakni Abdul Fatah. Untuk menghentikan kekacauan ini, pihak keluarga kesultanan meminta bantuan kepada salah seorang waliullah Banten yang kesohor dengan Pangeran Bu`ang Tubagus Bu`ang, beliau masih keturunan Sultan Maulana Yusuf Sultan Banten ke 2 dari Keraton Pekalangan Gede Banten. Semua orang ikut membantu Sultan Agung Abdul Fatah bersama Pangeran Tubagus Bu`ang dalam pertarungan melawan Sultan Maulana Mansyuruddin palsu, tapi dalam pertempuran tersebut Sultan Agung Abdul Fatah dan Pangeran Tubagus Bu'ang kalah dan dibuang ke daerah Tirtayasa. dari kejadian ini orang-orang Banten memberikan julukan untuk Sultan Agung Abdul Fatah sebagai Sultan Agung Tirtayasa. Berita pertempuran Sultan Abdul Fatah akhirnya sampai juga ke telinga Sultan Maulana Mansyuruddin yang saat itu berada di pulau Menjeli China, jadi dia teringat kembali akan pesan ayahnya agar jangan mampir-mampir ke negri orang, pada akhirnya dia menyesali perbuatannya tersebut dan berniat untuk pulang ke Banten. Sebelum pulang ke Banten, Syekh Manshurudi berniat untuk pergi ke Mekkah terlebih dahulu, tetapi jangan berpikir menaiki perahu, karena beliau adalah seorang waliullah yang dengan keilmuannya bisa saja beliau dalam sekejap mata berada di Mekkah. Tujuan Syekh Manshur pergi ke Mekkah tentunya untuk melaksanakan ibadah haji, yang kedua adalah meminta pengampunan kepada Allah atas perbuatannya karena meninggalkan kesultanan begitu lama sehingga terjadi huru-hara di tanah Banten. Di Mekkah inilah Sultan Manshurudin mendapatkan julukan baru yakni 'Syekh' dari para ulama setempat, sehingga beliau lebih banyak di kenal di tanah Banten sebagai waliullah Syekh Manshurudin ketimbang dikenal sebagai raja banten. Ketika semua urusannya sudah beres di mekkah, Syekh Manshur kebingungan untuk pulang ke Banten, di saat kebingungan itulah beliau mendapat petunjuk agar pergi ke arah sumur Zam-Zam. Syekh Manshur ketika berada di pinggir lubang sumur Zam-zam beliau lalu berdoa kepada Allah agar bisa melakukan perjalanan dengan selamat, beliau lalu menceburkan diri ke sumur zam-zam dan dengan izin Allah tiba-tiba sudah berada di sebuah kolam air di daerah pandeglang tepatnya di kawasan Cibulakan. Sejarah Batu Quran Ada cerita menarik di desa Cibulakan ini, penulis sempat juga berkunjung beberapa kali ke kolam keramat ini, sehingga tau betul lokasi 'cibulakan' yang berada di bawah, sehingga kalau hujan, otomatis air dari atas akan turun ke bawah dan banyak air yang menggenang di sana, artinya cibulakan memang tempat dimana sering banjir bila musim hujan, banyak penduduk yang merasa risih bila datang musim hujan, sehingga meminta bantuan kepada Syekh Manshur untuk mengatasi banjir ini. Menurut suatu kabar berita, syekh manshur lalu meletakan kitab al-Quran diats sebuah batu yang berada di tengah kolam, dengan ijin Allah, air banjir yang menggenangi 'cibulakan' menjadi surut masuk kedalam batu tersebut, sampai sekarang bila musim hujan sekalipun, cibulakan tidak pernah lagi kebanjiran. Sampai hari ini penduduk desa dan warga Banten menjuluki batu tersebut dengan julukan 'Batu Quran'. Syekh Manshur akhirnya pulang ke Kesultanan Banten untuk mengatasi situasi Banten yang sedang kacau sekaligus membersihkan namanya dan menyingkirkan Sultan Palsu. Kesultanan Banten lalu diserahkan kepada putranya, sedangkan Syekh Manshur sendiri lebih suka 'berdakwah' menyebarkan Islam ke seluruh pelosok Banten Pernikahan Ketika beliau dalam perjalanan pulang ke Banten tepatnya di kawasan Batu Quran Cikoromoy, beliau menetap lama disana dan menikah dengan Ratu Nyi Mas Sarinten, dalam pernikahannya dengan nyi Sarinten, beliau mempunyai seorang anak yang bernama Muhammad Salih Penumpang yang diberi gelar Abu Salih. Selepas tinggal lama di kawasan Cikoromoy insiden malang terjadi dimana istri beliau, Ratu Nyi Mas Sarinten meninggal dunia akibat tergelincir karena menginjak rambutnya yang panjang. Dan memang Nyi Mas Sarinten terkenal sebagai seorang wanita yang mempunyai rambut panjang melebihi kakinya, dari kejadian itulah, Syekh Manshur melarang semua keturunannya, yakni perempuan agar tidak memanjangkan rambut seperti rambutnya nyi Mas Sarinten Istri Syekh Manshurudin, nyi mas Sarinten dikebumikan tak jauh dari lokasi Cibulakan tepatnya di pekuburan Cikarayu Cimanuk. Selepas kematian istrinya, Syekh Manshur kemudian pindah ke kawasan Cikadueun dengan membawa Khodamnya yakni Ki Jemah. Ki Jemah ini merupakan seorang pelayan yang begitu setia menemani kemanapun Syekh Manshur pergi, beliau inilah yang mengurus semua keperluan dan kebutuhan Syekh Manshur. Setelah menetap di Cikaduen Pandeglang, Syekh Manshur menikah lagi dengan Nyai Mas Ratu Jamilah, seorang wanita sholihah yang dari Caringin Pandeglang. Suatu hari, Sheikh Maulana Mansyur menyebarkan agama Islam Islam sampai ke selatan pantai banten, di dalam perjalanannya beliau dan Ki Jemah sempat beristirahat di bawah pohon waru di sebuah hutan Pakuwon Mantiung, tiba-tiba saja, pohon-pohon waru itu mendongok kebawah seperti memayungi beliau berdua, hingga sekarang pohon-pohon waru di sana tidak ada yang lurus sebab pernah 'memayungi' syekh Manshur dan Ki Jemah. Ketika Syekh Manshur dan Kijemah beristirahat di bawah pohon waru, syekh mendengar lolongan harimau yang seolah-olah merasakan kesakitan yang mendalam, syekh manshur lalu menghampiri harimau tersebut dan ternyata si harimau kakinya terjepit kima, dengan ijin Allah syekh manshur lalu melepaskan kima tersebut dan si harimau di baiat oleh syekh Manshur agar jangan mengganggu anak dan cucu keturunan syekh manshur, dan ternyata harimau itu bukanlah harimau biasa, sebab harimau itu merupakan harimau dari alam gaib yang menguasai 6 pakuwon, si harimau menyanggupi syarat dari syekh Manshur untuk tidak mengganggu anak keturunann syekh manshur, dan si harimau itu diberi kalung surat yasin digantungkan di lehernya dan diberi nama si pincang atau raden langlang buana atau ki buyut kalam. Berikut 6 Pakuwon yang dipimpin oleh Ki Langlang Buana 1. Pakuwon Ujung Kulon Pemimpinnya adalah Ki Maha Dewa 2. Pakuwon Gunung Inten Pemimpinnya adalah Ki Bima Laksana Gunung Inten ini terletak di kecamatan Cimarga Kawadanaan Leuwi Damar Rangkas Bitung 3. Pakuwon Lumajang Pemimpinnya adalah Raden Singa Baruang Pakuan Lumajang ini terletak di Lampung 4. Pakuwon Gunung Pangajaran Pemimpinnya adalahKi Bolegbag Jaya Gunung Pangajaran ini terletak di Desa Carita Kawadanaan Labuan Pandeglang 5. Pakuwon Manjau Pemimpinnya adalah Raden Putri Majau ini terletak didesa Majau kecamatan Saketi Pandeglang Banten 6. Pakuwon Mantiung Pemimpinnya adalah Raden Buana atau Ki Buyut Kalam atau Si Pincang yang diselamatkan oleh Syekh Manshur. Mantiung ini terletak di desa sumur batu, kecamatan Cikeusik Pandeglang. Setelah lama mentransmisikan Islam ke berbagai daerah di Banten dan sekitarnya, Syekh Maulana Manyuruddin dan Khadamnya Ki Jemah kembali ke Cikaduen. Akhirnya Sheikh Maulana Mansyuruddin meninggal pada 1672 M dan dimakamkan di Cikaduen, Pandeglang, Banten. Hingga saat ini, makamnya sering dikunjungi oleh berbagai lapisan masyarakat.
Hey there, time traveller! This article was published 25/10/2022 234 days ago, so information in it may no longer be current. A former Buddhist monk who subjected two young girls to years of sexual abuse at a Winnipeg temple has been sentenced to 11 years in prison. Southone Silaphet, 74, was convicted after trial last year of two counts of sexual interference. Silaphet abused the two victims between 2016 and 2019, during visits to the Wat Lao Xayaram temple on Sinclair Street where he had been head monk for more than 12 years. Silaphet abused the two victims between 2016 and 2019 during visits to the Wat Lao Xayaram temple on Sinclair Street where he had been head monk for more than 12 years. Jesse Boily / Winnipeg Free Press files Silaphetâs actions represented a severe betrayal of trust and caused the victims to question their culture and faith, provincial court Judge Stacy Cawley said in a 24-page decision released earlier this month. âHe was trusted because he was head monk â a position that would garner respect and imply morality,â Cawley said. âHis actions were opposite to what would be expected of a dedicated religious leader. His conduct was exacerbated by the fact he sexually abused the victims in the temple, a sacred place, where the children should have felt safe.â Silaphet employed âa high degree of manipulationâ in abusing his victims, telling one girl his acts of molestation would keep the spirit of her dead grandmother alive, Cawley said. âHe told her it would be disrespectful to her grandmother to not let him do what he wanted,â Cawley said. âSilaphetâs exploitation of her love of her grandmother and her faith was insidious.â Silaphet was arrested in 2019 after the girl told her school guidance counsellor she had been sexually abused. The abuse, which included kissing, fondling underneath her clothes and biting, had happened âfor as long as I really remember,â the girl told an investigator in a police video statement provided to court at trial. Silaphet, who lived at the temple, a converted fire hall, abused the girl in an upstairs office equipped with security cameras that allowed him to see people coming up the stairs, the girl said. On one occasion, the girl said, Silaphet saw a man walking up the stairs and made the girl hide in a closet until he had left. âIt was confusing. Thatâs when I kind of realized that this was wrong, that it wasnât supposed to be happening,â she said. A second pre-teen victim said Silaphet repeatedly touched her under her clothing âin wrong placesâ while the two were alone in his upstairs office. âHe would tell my mom that he just wanted us to pray, even though it wouldnât be praying,â the girl said in a separate police video interview. Silaphet testified at trial with the help of a Laotian interpreter and flatly denied abusing the girls, saying he was never alone with them for more than a few minutes. Cawley, in convicting Silaphet in December, rejected his testimony as self-serving, saying it âappeared tailored to minimize the contact he had with the complainants and the degree of his favouritism.â Defence lawyer Kathy Bueti had urged Cawley to consider a sentence of no more than 30 months, arguing, in part, Silaphet has already lost his job and home as a result of his crimes and has suffered the stigma of being a convicted sex offender. Such impacts are the natural consequences of his actions, Cawley said. âIt should come as no surprise to Mr. Silaphet that he would lose the position of head monk and all the privileges that he enjoyed because he abused that position when he sexually violated children in the temple.â Dean PritchardCourts reporter Someone once said a journalist is just a reporter in a good suit. Dean Pritchard doesnât own a good suit. But he knows a good lawsuit. Read full biography
silsilah syekh mansyur cikadueun